Powered By Blogger

Minggu, 17 Maret 2013

Bidadari Impianku

Oh, semerbak harum
Bingkisan an-nur
Berterbangan tinggi ke intifadho
Oh, meretas misi
Risalah suci
Mewangikan taman yang dicemari*
Alunan lagu bernuansa islami itu masih terngiang jelas di telingaku, bait-bait semangat pemersatu Islam itu membangkitkan jiwa islami setiap muslim yang mendengarnya, gadis itu seakan ia menyurukan kepada kita semua untuk melihat kondisi saudara kita di Palestina.
Dengan sedikit gerak tarian, dipadu dengan suara lembutnya gadis itu mampu meyihir seluruh audience dan para juri untuk melihat dan mendengarkan dengan seksama lagu yang dibawakannya tersebut. sebelum akhirnya ia dinobatkan menjadi juara satu festival seni tingkat daerah tahun ini.
Aku masih saja termenung dalam sepi, bayangan wajah cantiknya kini memenuhi seluruh kelopak mataku, wajah putih halus yang dibalut dengan kerudung coklat yang ia kenakan saat tampil dipanggung membuat dirinya semakin anggun, kalau saja aku boleh berpendapat “ ia bagaikan seorang bidadari yang turun dari langit”.
“ Bahagia sekali orang yang yang bisa dekat denganya “ gumamku dalam hati.
Angin malam ini bertiup lebih kencang dari malam-malam sebelumnya. Udara dinginya pun mencoba mencari celah disela-sela badanku yang terbungkus jaket tebal yang kukenakan malam ini, sambil menahan dingin kuselimutkan kain sarungku ke seluruh badanku.
Aku semakin tak paham dengan apa yang kurasakan malam ini, ataukah “ ini yang dinamakan dengan cinta?” yang semua orang bilang ketika kita mengalaminya pasti kita akan selalu terbayang wajahnya, “ Ah…. Aku terlalu bodoh jika berbicara tentang cinta”.pikirku sambil beranjak berjalan menuju kedalam kamar.
“Nurul Lailiyah Aidatus Sholihah “lirih namanya kusebut. Setidaknya itulah yang kuketahui tentang dia jika suatu hari nanti tuhan akan mempertemukanku kembali dengannya.
####
“Zein, gimana? Kapan kamu akan nikah nak?” Tanya Ibuku tiba-tiba..
Entah mengapa akhir-akhir ini Ibuku selalu menanyakan hal itu kepadaku, pertanyaan yang selalu membuatku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, semua orang pasti menginginkan seorang keturunan dalam hidupnya, dan mungkin Ibuku sangat ingin sekali melihat keturunanya sebelum berpisah dengan dunia fana’ ini.
Ibuku sepertinya tidak puas dengan jawabanku, beliau mulai duduk di sampingku, kemudian mengusap lembut kepalaku yang masih terbaring diranjang kayu tempat tidurku ini.
“Nak, apa perlu ibu bantu carikan ?” tanyanya kepadaku
Tak kuasa aku menjawab pertanyaan beliau, aku tertunduk sejenak, “bukankah jodoh itu ada ditangan tuhan?” Tanyaku dalam hati yang tak munkin aku ucapkan pada ibu, kuangkat wajahku untuk menatap wajah beliau, kutatap wajah tua yang penuh dengan kasih sayang itu dengan senyum, wajah yang selalu memberikanku semangat ketika aku hampir saja menyerah dalam merebut gelar sarjanaku disalah satu fakultas ternama di kota ini.
“Oh iya nak, tadi ada kabar dari tetangga, katanya besok minggu malam kita di undang di acara walimahanya si Udin teman pondokmu dulu” ujarnya dengan mata agak berkaca-kaca seakan tampak kesedihan disana menunggu diriku kapan aku akan mengikuti apa yang dilakukan oleh temanku itu.
“Insyaallah, Zein akan kesana Bu” jawabku
Ibu mulai beranjak dari duduknya, meninggalkanku sendiri dikamar sempit berukuran sebesar 3x4 ini, kini aku termenung bertanya-tanya sendiri, “kenapa Ibu menyuruhku untuk cepat menikah?”, “apakah aku sudah terlalu tua?”,batinku lirih.
“Tidak mungkin”, kurasa jika semua orang melihatku pasti mereka akan mentaksir kalau aku belum menikah, di usia dua puluh tujuh tahun memang banyak dari teman-temanku yang memutuskan untuk melepas masa lajangnya, “tapi aku, menikah?” rasanya sungguh terlalu berat,pekerjaan saja aku belum tentu ” mau aku kasih akan apa nanti istriku kalau aku menikah?”.
“Modal apa kamu Din ,bisa menikahi anak orang ?” ujarku meremehkan.
####
.Menjelang isya aku mulai berdandan menggunakan pakaian batik cokelat yang dipadu dengan celana warna hitam kesukaanku,begitu habis selesai melaksanakan sholat isya’,aku langsung minta izin kepada ibu untuk pergi menghadiri acara walimahan si Udin di rumahnya yang terletak di desa sebelah kampungku.
Perlahan mulai kukayuh sepedaku pelan-pelan sambil menikmati heningnya malam, di sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya hampir tak kujumpai manusia yang sedang berjalan, maklum di daerah pedesaan, orang-orang hanya akan keluar malam hari jika ada pengajian besar atau semacamnya yang menghadirkan para mubalig terkenal, bahkan jika ada pengajian besar seperti itu para penduduk desa ini rela berjalan beratus-ratus meter untuk menghadirinya.
Kunikmati perjalanku menggunakan sepeda warisan ayahku yang sudah meninggal satu tahun yang lalu, sepeda yang dibeli ketika aku masih duduk dibangku Tsanawiyah itu tetap saja nyaman dipakai meski usianya sangatlah tua, tak terasa tiba-tiba pikiranku teringat dengan si Udin, kawan kecilku yang paling suka keluar malam ketika kita berdua menimba ilmu di salah satu pesantren salaf di daerah Jogjakarta.
Udin adalah anak orang kaya di desanya, ia juga salah seorang dari temanku yang gila bola, maka sering kali dulu aku ditraktir menontan bola di warung sekitar pondok dan tidak jarang pula kita kembali ke pondok ketika larut malam ,maklum kadang siaran sepak bola ditayangkan jika malam hari, karena itu tak jarang pula ia menjadi langganan keamanan pondok dalam menerima hukuman.
Aku yang sangat malu sekali jika terkena hukuman dari keamanan pondok akhirnya berusaha untuk tidak mengikuti ajakan dia untuk melanggar, tapi dasar si Udin yang keras kepala saja tetap nekad melakukanya, bahkan ia berpedoman sendiri dalam kamus hidupnya- kata dia suatu ketika- “jadi orang itu jangan munafik, aku tuh orangnya ya begini,seperti ini, kalau udah ketahuan ya sekalian aja”.bahkan karena seringnya ia menirima hukuman ia menganggap bahwa hukuman dari keamanan adalah perkara biasa yang tak perlu ditakuti lagi.
Kenakaln si Udin tidak hanya berhenti sampai di situ saja, sepertinya segala bentuk pelanggaran pondok pernah di langgarnya mulai dari berkelahi dengan santri yang lain, membolos ketika ada pengajian dari sang kyai, dsb . berbagai bentuk hukuman pun pernah dijalaninya seperti membersihkan kamar mandi, menyapu masjid dua minggu ,bahkan rambutnya pun tidak sempat tumbuh karena hukuman gundul yang dijalaninya hampir setiap bulan dua kali,dan terakhir ia dikeluarkan dari pondok pesantren karena ketahuan mencuri uang milik seorang teman sekamarku.
“nikah dengan siapa sekarang kamu Din?” tanyaku dalam hati.”atau jangan-jangan, mumpung ada yang mau denganmu kamu langsung mau nikah aja?”aku jadi ingin cepat tahu siapa wanita yang mau menjadi istri si Udin.
#####
Rumah besar si Udin mulai tampak oleh kedua mataku,janur kuning melengkung tanda diadakanya acara walimahan perkawinan itupun mulai tampak, Aku mulai mencari tempat untuk memarkirkan sepedaku,sejenak kulihat ke arah rumah besar bercat merah muda itu tampak ramai oleh beberapa tamu undangan yang menghadiri acara tersebut, sedikit penasaran seperti apa istri si Udin ,buru-buru kuparkir sepedaku di dekat pohon tempat sepeda para tamu undangan di parkir.
Aku mulai berjalan menuju rumah itu, bersalaman dengan penerima tamu undangan acara tersebut, serta mengisi daftar hadir yang disodorkan kepadaku beserta kenang-kenangan dari pengantin berupa gantungan kecil, tak lupa kumasukkan amplop kecil yang telah kusiapkan untuk menyumbang ke dalam kotak yang telah di letakkan di pintu masuk rumah ini.
“Ah.. pengantinya terlalu jauh”ungkapku dalam hati.
Akhirnya kuputuskan untuk duduk dikursi tempat para tamu undangan sambil menikmati hidangan yang disajikan, aku hanya bisa menikmati hidangan itu sambil sesekali melihat ke Udin dan istrinya yang sedang duduk di kursi pelaminan, sekilas kulihat pengantin wanita itu berdiri dari tempat duduknya ingin mempersembahkan sesuatu untuk menghibur para tamu undangan atau mungkin lebih tepatnya untuk si Udin suaminya.
Kuperhatikan kembali wanita itu yang sepertinya ingin mempersembahkan sebuah lagu untuk semuanya karena kulihat ia mulai mengambil micrhophone yang terletak tak jauh dari kursi pelaminan tersebut, make up yang tebal dimukanya membuatnya tak berbeda dengan wanita yang didandani dengan dandanan khas daerah ini
“Ah..dasar wanita, kalau sudah berdandan pasti tak karuan” gumamku tak menentu, kembali kunikmati makananku yang tersisa, perlahan tapi pasti suara indah wanita itu mulai mengalun indah,dan “Deg…….” Jantungku pun berdetak kencang ketika mendengar suar merdunya.
Oh,semerbak harum
Bingkisan an-nur
Berterbangan tinggi ke Intifadho
Oh, meretas misi
Risalah suci
Mewangikan Taman yang di cemari*
“Suara itu……?” tanyaku .
Buru-buru kurogoh saku bajuku untuk melihat kenang-kenangan yang telah diberikan oleh penerima tamu tadi kepada tamu undangan, mataku terbelelak seakan tak percaya dengan apa yang kulihat, tapi aku tak bisa mengingkari bahwa nama Nurul Lailiyah Aidatus Sholihah dan nama Sholahuddin tertulis di gantungan kunci tersebut.
“Ternyata kamulah orang yang beruntung itu, Din” ujarku lirih sambil tersenyum penuh kekalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar